#MemesonaItu Bekerja Keras Tanpa Malu

Saya lahir dari orangtua dengan latar belakang keluarga PNS. Boleh dibilang hidup saya berkecukupan. Tapi orangtua selalu mengajarkan hidup sederhana dan jauh dari sifat manja. Sejak kecil saya terbiasa berangkat sekolah jalan kaki saja. Tidak minta diantar, tidak pula minta dibelikan sepeda atau motor. 

Tokh, saya senang-senang saja, karena saya bisa sekalian jualan kue bareng seorang kawan. Ibunya pandai sekali membuat kue. Hasil penjualan kue itu saya berikan pada teman saya itu, karena  niat sejak awal memang cuma membantunya. Saya pikir, dia pasti senang dibantu agar dagangan cepat laku, dan dia bisa segera pulang untuk mengerjakan PR.


BIKIN MALU
Tapi alasan utama saya membantunya sebenarnya karena saya terpesona oleh  kegigihannya. Tidak ada sedikit pun rasa malu berjualan kue semacam itu padahal bagi kawan sekolah saya yang lain hal itu "bikin malu". Tentu aja bikin malu. Wong rata-rata kawan-kawan sekolah saya anak-anak pejabat dan pengusaha. Cuma sedikit siswa seperti kawan saya itu yang bisa masuk salah satu sekolah terpandang di Cirebon lantaran kerja keras, walau secara ekonomi tidak mampu.

Keterpesonaan itu sedikit banyak membentuk pondasi saya untuk tidak gampang menyerah pada keadaan. Saat kuliah, misalnya, saya sering sekali kehabisan  uang saku. Jujur saja, uang saku dari orangtua sebenarnya kurang menutupi kebutuhan akademis dan cepat habis. Tapi saya tidak mau merepotkan orangtua. Saya mesti memutar otak bagaimana caranya mendapatkan uang dengan jerih payah saya sendiri. Alhamdulillah saya dapat ide untuk jadi asisten dosen. Maka dimulailah petualangan baru saya sebagai asisten dosen. Sebagian hasil jerih payah itu saya tabungkan, sebagian lagi saya gunakan itu bahu membahu dengan 4 kawan saya yang tinggal satu asrama.
Saya (kerudung batik) bersama teman-teman kuliah

Bagaimanapun kami tinggal di rantau. Orangtua nun jauh di sana. Kami harus saling tolong agar bisa "survive" di tengah "antah berantah". Pernah ada teman demam tinggi, badannya sampai menggigil  tengah malam. Saya dan teman sekamar lainnya bergantian menjaga dia, mengganti kompresnya. Ada juga kejadian lebih ajaib, saat seorang teman kesurupan. Saya dan teman sekamar berbagi tugas memanggil bantuan kyai setempat dan membacakan ayat suci Al-Quran. Padahal kami ketakutan setengah mati, karena baru sekai itu melihat langsung peristiwa kesurupan. Praktis kami tidak bisa tidur semalam suntuk. Tapi  saya sangat bersyukur memiliki sahabat yang begitu care dengan kesulitan orang lain. 

Sekarang saya bekerja sebagai pekerja sosial. Sebenarnya melenceng jauh dari cita-cita waktu kecil yang ingin jadi dokter. Tapi saya pikir Tuhan pasti punya rencana lebih keren lewat profesi ini. Nyatanya memang begitu.

TENTANG JASMIN

Sebagai pekerja sosial, saya disebut dengan istilah Pendamping. Saya mendampingi Keluarga Sangat Miskin (KSM) untuk memastikan agar anak-anak di usia sekolah bisa melanjutkan sekolahnya sampai lulus, dan anak-anak balita serta ibu hamil bisa terpantau kesehatan dan perkembangannya lewat Posyandu dan Posbindu. Saya diwajibkan untuk memberi motivasi kepada binaan  agar mengubah pola pikir mereka sehingga mau berubah lebih maju untuk masa depan keluarga. 
Ada satu keluarga yang intens sekali saya dampingi. Dia "cuma" anak perempuan SMP yang  hidup bersama neneknya yang tua renta sedangkan orangtuanya jauh di luar kota. Sebut saja namanya Jasmin. Menurut saya, orangtua Jasmin kurang bertanggung jawab terhadap anaknya. Mereka membiarkan begitu saja Jasmin berjuang melawan kerasnya hidup bersama neneknya yang sudah tidak produktif lagi bekerja. Padahal anak itu memiliki impian luar biasa. Jasmin ingin sekolah tinggi, dan bercita-cita jadi pengusaha agar bisa membantu anak-anak kurang mampu seperti dirinya.
Jasmin dan prestasinya

Sebelum berangkat sekolah, Jasmin mengurus neneknya dahulu. Sepulang sekolah dia menyiapkan makan untuk neneknya, juga menyuapinya. Saat anak-anak seusianya sibuk hang-out, atau main medsos, atau bersantai di rumah, Jasmine keluar rumah jualan gorengan sampai malam hari. Apa yang Jasmin alami mengingatkan saya pada teman sekolah saya dulu.  Tapi situasi Jasmin lebih parah, karena dirinya tidak didukung oleh ibu (dan ayah) yang bisa berbagi peran dalam melaksanakan ikhtiarnya. Hebatnya Jasmin selalu murah senyum. Padahal dia CUMA anak SMP, dan dia bekerja pontang panting membiayai sekolah dan kehidupan sehari-harinya. 
Saat Jasmin kelas 2 SMA, neneknya meninggal dunia. Dia terusir dari rumah neneknya, karena rumah tersebut dijual oleh paman-bibinya. Ini titik tergila dalam hidupnya, lantaran orangtuanya di luar kota pun kelihatan tidak terlalu peduli dengan nasibnya. Saya bilang gila, karena ini tidak seharusnya dialami oleh anak usia belasan yang sudah sedemikian hebatnya melawan kejamnya tantangan hidup. 

Salah satu produk dagangan Jasmin. ASLI buatan sendiri

Beruntung ada seorang guru mau mengangkatnya jadi anak asuh. Ini berkah  tak terduga dari orang yang bahkan tidak memiliki hubungan darah sama sekali dengannya.  Sang guru pasti sangat paham betapa besar potensi Jasmin. Di sekolah, Jasmin dia selalu rangking 1. Jasmin pun tak segan membantu pekerjaan rumah tangga sang guru untuk menunjukkan rasa terima kasihnya.

Kenyataan ini menohok kesadaran saya. Sebagai Pendamping, saya jelas bertekad untuk melihat Jasmin mewujudkan cita-citanya, dan mencarikan peluang agar Jasmin bisa dapat beasiswa perguruan. Saya akan berjuang keras untuk itu!

Tapi di sini menariknya. Saya jadi paham kenapa Tuhan membuat saya dikelilingi orang-orang seperti Jasmin dan kawan-kawan saya. Saya tidak menjadi tokoh utama kisah ini yang akhirnya menyelamatkan orang-orang. Malahan justru sebaliknya. Merekalah yang menyelamatkan saya. Mereka mengajarkan saya harta tak ternilai bernama kerja keras tanpa rasa malu. 

Kerja keras semacam ini lah yang menurut saya memesona.  Yakni saat kita bisa menampilkan kecantikan lahiriah dan batiniah secara bersamaan. Orang tentu senang melihat penampilan kita bersih, rapi, wangi, dan cantik. Saya pribadi juga pantang terjun ke lapangan tanpa tampil rapi, cantik, dan wangi.

Tapi orang tentu akan lebih senang lagi jika melihat kecantikan lahiriah kita ditunjang oleh kecantikan dari dalam diri. Kecantikan itu bernama kerja keras dan pantang menyerah walau berbagai halangan mengintai dan menghadang demikian kejamnya.
Saya dan teman-teman Pendamping

Jasmin sudah mengajarkan saya tentang itu. Senyumnya tetap terkembang. Cita-citanya tetap membumbung hebat. Tak ada satu pun rintangan yang membuat dirinya berteriak mengaku kalah. Saya terpesona! Saya terpesona oleh kiprah jasmin dan kawan-kawan saya dahulu.

Saya tidak akan pernah melupakan pelajaran besar ini. Malahan saya bersedia membaginya untuk Anda semua dalam bentuk tips. Inilah tips itu.....

TIPS AGAR PESONA KITA TERPANCAR HEBAT :
1. Bekerja keras, berusaha sekuat tenaga kita untuk mencapai mimpi;
2. Selalu berfikir positif walau hal-hal tidak menyenangkan terjadi;
3. Selalu bersyukur dengan apa yang kita dapatkan
4. Selalu melihat keatas agar kita termotivasi lebih baik dan selalu melihat ke bawah agar kita selalu berempati,untuk saling memberi.
5. Merawat diri kita agar tampil menarik dengan penampilan yang bersih, rapi dan wangi membuat kita terlihat menarik, untuk mengimbangi kecantikan batiniah kita.
6.Jangan lupa tersenyum, karena senyum bagian dari cara agar pesona tetap terpancar;
7. Ketika masalah menghadang, ingatlah bahwa Tuhan selalu bermurah hati pada orang-orang yang berusaha.


Tulisan ini diikutkan pada lomba #MemesonaItu
Lomba berlangsung sejak 10 Maret-10 April 2017 bagi blogger maupun masyarakat yang tidak memiliki blog. Simak berbagai info menarik di site www.pancarkanpesonamu.com dengan mengklik gambar di bawah ini.

http://www.pancarkanpesonamu.com/memesonaitu


Komentar

Most Read

Kisah Pecandu Astronomi Menyaksikan Gerhana Matahari Total di Ternate

Bangkit dari Kubur, eh, Bangkit dari Tidur